Senin, 30 Mei 2011

NASEHAT UNTUK MUSLIMAH TENTANG JILBAB


PENDAHULUAN
Dewasa ini sering kali kita menyaksikan perkembangan mode di benjuru dunia yang begitu pesat . Multi mode, dari  terompah sampai istana mewah serta ornament-ornamen wah menggiurkan.
Dibalik mode ini kita juga mesti mengacungkan jempol atas perkembangan jilbab yang mulai dilirik dan diperhatikan untuk dipakai oleh wanita-wanita yang notabene beragama Islam. Wanita muslim semakin punya banyak pilihan dalam berjilbab, beragam jenis jilbab hadir dengan ragam dan motif yang berbeda. Memang banyak juga dari kalangan kita sendiri yang suka mencibir negative kepada saudari-saudari yang berbusana muslimah dan berjilbab. Mereka banyak beranggapan “ah, perbuatannya sama saja dengan wanita yang tidak berjilbab”. Dan banyak lagi anggapan-anggapan negative terhadap saudari kita. Sebenarnya kalau kita pikirkan dengan akal sehat tanpa menggunakan hawa nafsu maka kita bisa menemukan jawaban bahwa perintah dan larangan itu bukanlah satu, misalnya seorang muslimah memakai jilbab lalu disisi lain melakukan pelanggaran dosa. Perintah untuk berjilbab sudah dia laksanakan dan dia mendapat pahala terhadap perintah yang dilaksanakan tersebut sedangkan dosa yang dilakukannya berbeda dengan perintah yang dia laksanakannya itu.
                Venomena keliru yang sering dijumpai di masyarakat adalah ketika seorang wanita berjilbab melanggar aturan syar'i kemudian menganggap wanita berjilbab adalah hantu yang menakutkan dan tidak sedikit dari kita yang mengatakan percuma dia berjilbab.
Pemikiran-pemikiran negative harus kita waspadai karena dibalik semua itu ternyata musuh-musuh Islam membuat propaganda tentang kejelekan wanita ketika memakai jilbab. Anggapan itu antara lain yang berjilbab bakal susah cari kerja dan penghalang aktifitas, susah jodoh, susah berteman, jilbab identik dengan teroris, dan banyak lagi propaganda yang disebar oleh kaum kuffar termasuk pula kaum munafikin.
                Baik coba kita urai satu persatu anggapan negatif ini.
1.  Jilbab penghalang aktifitas/kerja.
Memang kalau kita perhatikan ada perusahaan ataupun kantor yang tidak mempekerjakan wanita yang memakai jilbab tapi itu menjadi hikmah bagi kita sendiri. Kalau ada perusahaan atau kantor yang mensyaratkan karyawannya tidak memakai jilbab perlu dipertanyakan atau memang ini adalah lumrah karena mungkin perusahaan ini adalah semacam bar, pembuat minuman beralkohol, tempat perjudian dan lain-lain yang tidak wajar kalau wanita muslimah bekerja didalamnya. Tapi tidak sedikit perusahaan yang mau menerima wanita muslimah yang berjilbab, perhatikanlah wanita karir yang memakai jilbab. Dimana-mana ada,  baik di bank-bank, restauran, rumah sakit, di kepolisian, dan banyak lagi yang lainnya. Jadi tidaklah benar bahwa jilbab penghalang aktifitas atau kerja.
2. Susah jodoh
Wanita jilbab susah jodoh adalah anggapan yang keliru, karena bisa kita buktikan sendiri bahwa yang berjilbab malah lebih duluan menikahnya ketimbang yang tidak berjilbab. Laki-laki cenderung memilih wanita tidak berjilbab, memang ada yang seperti itu. Tapi coba kita renungkan laki-laki macam apa yang mau dipilih. Rasulullah saw bersabda : Tungkahul mar’atu li arbain, limaaliha,walihasaabihaa, walijamaaliha, walidiinihaa, fadfar bizaatiddin taribat yadak (wanita itu dipilih karena 4 hal: karena hartanya, keturunannnya, kecantikannya, dan karena agamanya, pilihlah yang beragama kalau tidak kamu bisa celaka. HR. Bukhari.
Hadits ini bukan hanya ditujukan buat laki-laki, tapi untuk wanita juga.
3. Susah berteman
Anggapan semacam ini tidak usah dipedulikan karena wanita muslimah itu akan selalu banyak teman kalau dia mengamalkan agamanya, tentunya bukan gaul ala wanita yang terlalu bebas memilih teman tanpa batas.
4. Jilbab identik teroris
Kalau ada orang yang beranggapan jilbab adalah teroris maka kita perlu mempertanyakan ke Islamannya. Karena hanya di negara-negara Eropa, dan Amerikalah yang beranggapan seperti itu dan rata-rata mereka adalah orang kafir.

PERINTAH BERJILBAB
                Jilbab pada dasarnya bukan satu kewajiban ketika perintah jilbab belum diturunkan oleh Allah SWT kepada ummat Nabi Muhammad saw. Pada saat Rasulullah membina rumah tangga bersama Khadijah, ayat-ayat tentang perintah berjilbab belum ada, artinya sesuatu itu wajib kalau dilandasi dengan kalimat perintah tetapi sebaliknya kalau ibadah tidak ada perintahnya maka dia haram hukumnya, seperti dalam kaedah fiqh, al-aslu fil ibadah at-tahrim (asal dari ibadah itu adalah haram). Setelah Rasulullah saw menerima wahyu Allah SWT mengenai perintah berjilbab bagi wanita muslimah, maka tidak ada lagi kata untuk menolak atau mengelak terhadap jilbab itu sendiri, karena hukumnya sudah menjadi wajib.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nur (24) : 30-31)

Sebab turunnya ayat ini menurut Muqatil bin Hayyan, bahwa ia berkata : “Telah sampai kepada kami riwayat dari Jabir bin Abdillah Al-Anshari, ia menceritakan bahwa Asma' binti Martsad berada ditempatnya di kampung bani Haritsah. Disitu para wanita masuk menemuinya tanpa mengenakan kain sehingga tampaklah gelang pada kaki-kaki mereka dan tampak juga dada dan jalinan rambut mereka. Asma' berkata : Sungguh jelek kebiasaan seperti ini.” Lalu turunlah firman Allah : Wa qul lilmu'minaatiyagdhudna min absyoorihinna (katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangan-pandangan mereka,” yakni dari perkara yang haram mereka lihat.  Sedangkan firman Allah yang berbunyi : Walyadribna bikhumurihinna ala juyuubihinna “ Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka,” yakni, hendaklah kerudung (jilbab) dibuat luas hingga menutupi dada untuk membedakan model wanita jahiliyah.

                Imam bukhari meriwayatkan dari Aisyah RA, ia berkata : “Semoga Allah merahmati wanita-wanita Muhajirah generasi awal, ketika turun ayat Walyadribna bikhumurihinna ala juyuubihinna “ Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka,” mereka merobek kain-kain dan berkerudung (berjilbab) dengannya.”

                Ibnu Abi Hatim dari Shafiyyah binti Syaibah, ia berkata: “Ketika kami berada disisi Aisyah RA dan berkata : “Kami menyebut wanita-wanita Quraisy dan keutamaan mereka. “ Aisyah berkata : Sesungguhnya wanita-wanita Quraisy memiliki keutamaan. Demi Allah, sungguh aku belum melihat wanita yang lebih utama dari wanita Anshor, yang paling membenarkan Kitabullah dan paling kuat keimanannya kepada wahyu yang diturunkan. Sungguh ketika turun firman Allah : Walyadribna bikhumurihinna ala juyuubihinna “ Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka,” suami-suami mereka pulang menemui mereka dan membacakan ayat yang diturunkan Allah ini kepada mereka. Para suami membacakan kepada istri, putri, saudara perempuannya dan kepada seluruh karib kerabatnya. Segera saja setiap wanita bangkit dan mengoyak kain-kain mereka lalu menutup tubuh mereka dengannya sebagai pembenaran terhadap Kitabullah dan keimanan kepada wahyu yang diturunkan Allah SWT dalam Kitab-Nya, merekapun berada dibelakang Rasulullah saw dengan mengenakan kerudung (jilbab) penutup kepala seolah-olah burung gagak hinggap diatas kepala mereka.(Tafsir Ibnu Katsir juz 16-19, jilid 6 Pustaka Imam Asy-Syafi'i)
Firman Allah SWT dalam surah yang lain :

Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab (33) : 59)

SYARAT JILBAB SYAR’I
Ada beberapa syarat wajib yang harus dipenuhi agar pakaian disebut jilbab syar'i, antara lain :
1.  Menutupi kepala dan dada
2.  Tidak terlalu tipis
3.  Longgar tidak ketat, tidak     memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh
4.  Tidak sama dengan busana wanita kafir

PENUTUP
Semoga tulisan ini akan menjadi bahan bacaan yang bermanfaat terlebih lagi bagi kita yang sudah membacanya akan menyampaikan kepada para muslimah lainnya apakah dia saudari perempuan kita, istri kita, anak perempuan kita, mertua kita bahkan ke ibu kandung kita  sekalipun. Tugas penyampaian inilah yang disebut berda’wah. Ingat da’wah itu wajib, sampaikanlah ia dengan cara bilhikmah dengan cara yang lemah lembut. Tugas da’wah ini akan maksimal bila kita menyadari bahwa kita orang Islam yang masing-masing mempunyai tugas da’wah yang berbeda, semua tergantung pada kadar kemampuan. Wallahu a’lam.

Rusdianto As-Sabakanie,S.Ag

Selasa, 08 Maret 2011

TANGGUNG JAWAB ORANG TUA MENDIDIK ANAK SECARA ISLAMI

Edisi 7 Buletin Al-Jazeera IK2S
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS.At-Tahrim : 6)

PENDAHULUAN.
Manusia lahir dalam keadaan fitrah (suci) dan kedua orang tua adalah pendidik pertama bagi sikecil. Kullu mawluwdin yuwladu ’alal-fithrah, "setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci"(Shahih Muslim 6858)
            Orang tua adalah guru pertama yang mengajarkan ini dan itu, maka alangkah baiknya bila kedua orang tuanya berasal dari orang yang bisa memahami Islam dan ajarannya. Sebab peranan orang tua sangat penting, ia menjadi peletak dasar bagi cita-cita generasi pelanjutnya  demi  tegaknya kalimat Lailaha Illalah.  Solusi bagi orang tua adalah perbanyak belajar meskipun secara gradual (bertahap), perbanyak membaca hal tentang Islam, janganlah kita merasa minder untuk belajar, mengikuti pengajian-pengajian di masjid tempat kita tinggal atau masjid di kantor kita, dalam Islam tidak ada kata terlambat untuk menuntut ilmu.

Tholabul ilmi fariidhatun ala kullli muslimin,  “menuntut ilmu diwajibkan atas setiap muslim”. ( HR. Ibnu Majah dan Baihaqi dari Anas bin Malik, Shahihul Jami’ (3913)

            Mungkinkah hidayah akan turun jika kita sendiri bermalas-malasan dalam mencarinya? Mungkin jawabannya tidak. Lihat dan perhatikanlah anak-anak kita, didiklah dengan pendidikan yang baik. Karena bisa jadi dia baik di rumah tapi hancur berantakan (moralnya) di luar sana. Di rumah jinak seperti kucing tapi di luar rumah seperti macan kelaparan yang tidak pandang halal dan haram.
Catatan demi catatan sudah sangat banyak menggores kertas-kertas putih manual ataupun kertas elektronik di berbagai media seperti komputer/internet. Degradasi moral anak-anak bangsa sudah sangat keterlaluan, seiring dengan semakin canggihnya kesempatan dan peluang untuk melakukan penyimpangan moral.

Selain karena pengaruh zaman, kemerosotan moral ini juga dipicu oleh   faktor  orang tua yang kurang peduli akan anak-anak mereka, apalagi peduli terhadap anak-anak tetangga mereka, disusul oleh tipisnya kontrol dan pengawasan elemen masyarakat. Padahal di dalam Islam menegur siapapun yang melakukan sesuatu yang tidak diajarkan dalam Islam sangat dianjurkan bahkan wajib untuk kita tegur secara baik-baik, bukan malah dibiarkan.
                         
Tanggungjawab Memberi Nafkah
            Orang tua (ayah dan ibu) mempunyai hak dan tangggung jawab terhadap anak-anak mereka. Masing-masing diberikan kewajiban yang berbeda-beda. Sang ayah diberikan kewajiban untuk menafkahi keluarganya termasuk anak-anak mereka (Al-Baqarah 233).  Dengan adanya anak, Allah s.w.t menjamin rezqi para orang tua, nahnu narzuqukum wa iyyahum; Kami yang memberi rezki kalian dan anak-anak kalian (al-An’am:151). Dalam al-Isra’:31 Allah kembali menandaskan, ”nahnu narzuquhum wa ’iiyakum, Kami yang akan memberi rezki mereka dan juga kepadamu.”
Nafkah dimaksud bisa berupa materi (harta), bisa juga berbentuk ilmu, seperti pendidikan dan pengajaran, adab-adab harian, etika bersopan-santun dan sejenisnya.
Nafkah orang-tua terhadap anak, Allah hitung sebagai sedekah yang punya nilai pahala di sisi-Nya (HR.Imam Thabarani dari Abu Umamah). Anak yang tumbuh dan berkembang dengan nafkah harta yang halalal thayyiban dan mubarakan, sangat berpeluang untuk menjadi waladun shalih yad’uw lahu, anak yang berbakti yang akan mendoakan orang-tuanya. Sebaliknya anak yang tumbuh dan dibesarkan dengan nafkah yang haram, maka anak tersebut akan terpengaruh oleh konsumsi nafkah yang haram tersebut. 

Tanggung Jawab mendidik.
Menjadi orangtua pada zaman globalisasi saat ini tidak mudah.  Apalagi jika orangtua mengharapkan anaknya tidak sekadar menjadi anak yang pintar, tetapi juga taat dan salih, karena tantangannya sangat banyak.
Orang tua harus sabar dan telaten, wa’mur ahlaka bis-sholati washtabir ’alayha; suruh keluargamu untuk sholat dan bersabarlah kamu melakukannya (Thaha:132). Ketika mengamalkan ayat ini, khalifah Umar menyediakan waktu khusus untuk anak-anaknya. Beliau mengajari anak-anaknya sholat, tidak jarang beliau tidur bersama anaknya untuk memberinya nasehat dan pesan-pesan sebelum tidur. Beliau mengimami anak-anaknya dan melatihnya untuk bangun tengah malam melakukan qiamul-lail. Fajar datang, sang khalifah lalu membangunkan anak-anaknya. Demikian cerita Zaid bin Aslam seperti dikutip dalam Muwatha’nya Imam Malik.

Keberhasilan mengajari anak dalam sebuah keluarga memerlukan kerjasama yang kompak antara ayah dan ibu. Jika ayah dan ibu masing-masing mempunyai target dan cara yang berbeda dalam mendidik anak, tentu anak akan bingung, bahkan mungkin akan memanfaatkan orangtua menjadi kambing hitam dalam kesalahan yang dilakukannya.
           
Selanjutnya, pendidikan yang diberikan oleh orangtua kepada anak belumlah cukup untuk mengantarkan si anak menjadi manusia yang berkepribadian Islam.  Anak juga membutuhkan sosialisasi dengan lingkungan tempat dia beraktivitas, baik di sekolah, sekitar rumah, maupun masyarakat secara luas.

Imam Al-Ghazali dalam Risalah”Ayyuhal walad ”(wahai anak)” mengumpamakan proses tarbiyah (pendidikan) itu bagaikan usaha petani mencabut duri-duri  dan membuang tumbuhan asing dari tanamannya agar tumbuh dengan baik dan sempurna.
            Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengabaikan pendidikan anaknya dan membiarkannya begitu saja, berarti ia telah melakukan keburukan yang teramat keji. Timbulnya kerusakan dalam jiwa anak sering diakibatkan oleh orang tua mereka sendiri. Pendidikan mereka di abaikan. Pengajaran kepada mereka tentang kewajiban dan sunnah-sunnah agama ditinggalkan. Jika sewaktu kecil mereka telah disia-siakan, wajar ketika dewasa mereka menjadi orang yang tidak berguna baik untuk diri sendiri ataupun untuk orang tua mereka. Akhirnya ada sebagian anak yang mencaci orang tuanya sendiri. 

Berlaku Adil.
Orang tua yang baik adalah orang tua yang menyantuni, mengayomi dan mendidik serta memperlakukan anaknya dengan adil, baik dalam memberikan perhatian maupun pemberian. Adil diperlukan untuk menghindari kecemburuan dan menjaga keharmonisan. Adil, tidak berarti sama rata. Adil bisa berarti kesetaraan atau keseimbangan, masing-masing hak anak dipenuhi sesuai kebutuhan.   Rasulullah s.a.w bersabda:

اِعْدِلُوْابَيْنَ اَبْنَاءِكُمْ , اِعْدِلُوْابَيْنَ اَبْنَاءِكُمْ  (رواه احمد وابن حبان)

“Berlaku adillah kalian kepada anak-anak kalian, berlaku adillah kalian kepada anak-anak kalian”. (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, Shahihul Jami’ 1046)

اِتَّقُوْا اللّهَ وَاعْدِلُوا فِيْ ْاَولاَدِكُمْ

“Bertaqwalah kalian kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anak kalian”
(HR. Muslim)

Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa : Suatu hari ada orang yang menghibahkan (mewariskan) harta kepada anak-anaknya dengan tidak sama , kemudian Rasulullah saw diminta untuk menjadi saksinya, maka Rasulullah saw bersabda :

لاَتُشْهِدْنِيْ عَلَى جُوْرٍ اِنَّ لاِبْنِكَ عَلَيْكَ مِنَ الْحَقِّ اَنْ تَعْدِلَ بَيْنَهُمْ

“Janganlah engkau menjadikan aku saksi dalam perbuatan aniaya. Sesungguhnya kewajibanmu terhadap anakmu ialah berlaku adil”. (HR. Muslim, 4189-4190)

            Hadits ini jelas menunjukkan bahwa Rasulullah saw menolak untuk dijadikan sebagai saksi dalam perbuatan yang dholim (tidak adil) dan beliau melarang seseorang menjadi saksi atas perkara yang dholim. Dalam kisah lain diceritakan pula oleh Anas ra:
“Bahwasanya ada seorang lelaki sedang duduk bersama Nabi saw. Kemudian anak laki-lakinya datang, ia menciumnya kemudian mendudukkan dipangkuannya. Tidak lama kemudian datang pula anak perempuannya, ia hanya menuntunnya saja dan mendudukkan disisinya. Melihat pemandangan seperti itu Rasulullah saw bersabda, ”Famaa ’adalta baynahumaa, “Engkau tidak adil terhadap keduanya”. (HR. Baihaqi, Syua’bul Iman, As Shahihah Syeikh Albani 2994)

Mencarikan Lingkungan Islami.
Lingkungan dalam arti tempat belajar, tempat/kawan main, majlis tempat ia kumpul-kumpul/nongkrong, hingga soal jodoh.  Sebab ar-rajulu ’alaa diyni khaliilihi fal yanzhur ahadukum man yukhaalil; seseorang itu bergantung kepada agama temannya, karena itu tengoklah dengan siapa ia berkawan. (Abu Dawud & Tirmidzi dari Abu Hurairah, Shahihul Jami’ 3545).
Sabda Nabi yang mulia ini menyuruh untuk pandai-pandai memilih teman, sebab teman yang jahat sangat berbahaya terhadap keimanan, akhlaq dan agama seseorang. Tidak jarang anak terperosok, gara-gara teman. Orang tua secra dini perlu memahamkan kepada putera/inya tentang konsep aurat dan konsep gaul sesuai tuntunan Islam, bagaimana cara berpakaian dan pola busana muslimah.  

Islam tidak membenarkan, mengambil setiap orang sebagai teman, sebab tabiat maupun perangai orang beraneka macam.  Bakr bin Abdullah Abu Zaid menyampaikan nasehat: ”Hati-hatilah dari teman yang jelek …!, karena sesungguhnya tabiat itu suka meniru. Manusia itu seperti serombongan burung yang mereka diberi naluri untuk meniru dengan yang lainnya. Maka hati-hatilah bergaul dengan orang yang seperti itu, karena kamu bisa celaka, hati- hatilah karena usaha mencegah  lebih mudah dari pada mengobati.”
Luqmanull Hakim berwasiat, ” Anakku, bersahabatlah dengan para ulama dan dekaplah mereka dengan kedua tanganmu! Hati sungguh hidup dengan siraman hikmah, laksana hidupnya tanah kering oleh siraman air hujan.”

Ibnu ‘Atha’illah menambahkan: "Berkawan seorang bodoh yang tidak memperturutkan hawa nafsunya, jauh lebih baik daripada dengan berkawan seorang 'alim yang selalu memperturutkan hawa nafsunya."

 











 




        Rusdianto Abdul Wahid, S.Ag  
       As-Sabakany