Selasa, 08 Maret 2011

TANGGUNG JAWAB ORANG TUA MENDIDIK ANAK SECARA ISLAMI

Edisi 7 Buletin Al-Jazeera IK2S
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS.At-Tahrim : 6)

PENDAHULUAN.
Manusia lahir dalam keadaan fitrah (suci) dan kedua orang tua adalah pendidik pertama bagi sikecil. Kullu mawluwdin yuwladu ’alal-fithrah, "setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci"(Shahih Muslim 6858)
            Orang tua adalah guru pertama yang mengajarkan ini dan itu, maka alangkah baiknya bila kedua orang tuanya berasal dari orang yang bisa memahami Islam dan ajarannya. Sebab peranan orang tua sangat penting, ia menjadi peletak dasar bagi cita-cita generasi pelanjutnya  demi  tegaknya kalimat Lailaha Illalah.  Solusi bagi orang tua adalah perbanyak belajar meskipun secara gradual (bertahap), perbanyak membaca hal tentang Islam, janganlah kita merasa minder untuk belajar, mengikuti pengajian-pengajian di masjid tempat kita tinggal atau masjid di kantor kita, dalam Islam tidak ada kata terlambat untuk menuntut ilmu.

Tholabul ilmi fariidhatun ala kullli muslimin,  “menuntut ilmu diwajibkan atas setiap muslim”. ( HR. Ibnu Majah dan Baihaqi dari Anas bin Malik, Shahihul Jami’ (3913)

            Mungkinkah hidayah akan turun jika kita sendiri bermalas-malasan dalam mencarinya? Mungkin jawabannya tidak. Lihat dan perhatikanlah anak-anak kita, didiklah dengan pendidikan yang baik. Karena bisa jadi dia baik di rumah tapi hancur berantakan (moralnya) di luar sana. Di rumah jinak seperti kucing tapi di luar rumah seperti macan kelaparan yang tidak pandang halal dan haram.
Catatan demi catatan sudah sangat banyak menggores kertas-kertas putih manual ataupun kertas elektronik di berbagai media seperti komputer/internet. Degradasi moral anak-anak bangsa sudah sangat keterlaluan, seiring dengan semakin canggihnya kesempatan dan peluang untuk melakukan penyimpangan moral.

Selain karena pengaruh zaman, kemerosotan moral ini juga dipicu oleh   faktor  orang tua yang kurang peduli akan anak-anak mereka, apalagi peduli terhadap anak-anak tetangga mereka, disusul oleh tipisnya kontrol dan pengawasan elemen masyarakat. Padahal di dalam Islam menegur siapapun yang melakukan sesuatu yang tidak diajarkan dalam Islam sangat dianjurkan bahkan wajib untuk kita tegur secara baik-baik, bukan malah dibiarkan.
                         
Tanggungjawab Memberi Nafkah
            Orang tua (ayah dan ibu) mempunyai hak dan tangggung jawab terhadap anak-anak mereka. Masing-masing diberikan kewajiban yang berbeda-beda. Sang ayah diberikan kewajiban untuk menafkahi keluarganya termasuk anak-anak mereka (Al-Baqarah 233).  Dengan adanya anak, Allah s.w.t menjamin rezqi para orang tua, nahnu narzuqukum wa iyyahum; Kami yang memberi rezki kalian dan anak-anak kalian (al-An’am:151). Dalam al-Isra’:31 Allah kembali menandaskan, ”nahnu narzuquhum wa ’iiyakum, Kami yang akan memberi rezki mereka dan juga kepadamu.”
Nafkah dimaksud bisa berupa materi (harta), bisa juga berbentuk ilmu, seperti pendidikan dan pengajaran, adab-adab harian, etika bersopan-santun dan sejenisnya.
Nafkah orang-tua terhadap anak, Allah hitung sebagai sedekah yang punya nilai pahala di sisi-Nya (HR.Imam Thabarani dari Abu Umamah). Anak yang tumbuh dan berkembang dengan nafkah harta yang halalal thayyiban dan mubarakan, sangat berpeluang untuk menjadi waladun shalih yad’uw lahu, anak yang berbakti yang akan mendoakan orang-tuanya. Sebaliknya anak yang tumbuh dan dibesarkan dengan nafkah yang haram, maka anak tersebut akan terpengaruh oleh konsumsi nafkah yang haram tersebut. 

Tanggung Jawab mendidik.
Menjadi orangtua pada zaman globalisasi saat ini tidak mudah.  Apalagi jika orangtua mengharapkan anaknya tidak sekadar menjadi anak yang pintar, tetapi juga taat dan salih, karena tantangannya sangat banyak.
Orang tua harus sabar dan telaten, wa’mur ahlaka bis-sholati washtabir ’alayha; suruh keluargamu untuk sholat dan bersabarlah kamu melakukannya (Thaha:132). Ketika mengamalkan ayat ini, khalifah Umar menyediakan waktu khusus untuk anak-anaknya. Beliau mengajari anak-anaknya sholat, tidak jarang beliau tidur bersama anaknya untuk memberinya nasehat dan pesan-pesan sebelum tidur. Beliau mengimami anak-anaknya dan melatihnya untuk bangun tengah malam melakukan qiamul-lail. Fajar datang, sang khalifah lalu membangunkan anak-anaknya. Demikian cerita Zaid bin Aslam seperti dikutip dalam Muwatha’nya Imam Malik.

Keberhasilan mengajari anak dalam sebuah keluarga memerlukan kerjasama yang kompak antara ayah dan ibu. Jika ayah dan ibu masing-masing mempunyai target dan cara yang berbeda dalam mendidik anak, tentu anak akan bingung, bahkan mungkin akan memanfaatkan orangtua menjadi kambing hitam dalam kesalahan yang dilakukannya.
           
Selanjutnya, pendidikan yang diberikan oleh orangtua kepada anak belumlah cukup untuk mengantarkan si anak menjadi manusia yang berkepribadian Islam.  Anak juga membutuhkan sosialisasi dengan lingkungan tempat dia beraktivitas, baik di sekolah, sekitar rumah, maupun masyarakat secara luas.

Imam Al-Ghazali dalam Risalah”Ayyuhal walad ”(wahai anak)” mengumpamakan proses tarbiyah (pendidikan) itu bagaikan usaha petani mencabut duri-duri  dan membuang tumbuhan asing dari tanamannya agar tumbuh dengan baik dan sempurna.
            Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengabaikan pendidikan anaknya dan membiarkannya begitu saja, berarti ia telah melakukan keburukan yang teramat keji. Timbulnya kerusakan dalam jiwa anak sering diakibatkan oleh orang tua mereka sendiri. Pendidikan mereka di abaikan. Pengajaran kepada mereka tentang kewajiban dan sunnah-sunnah agama ditinggalkan. Jika sewaktu kecil mereka telah disia-siakan, wajar ketika dewasa mereka menjadi orang yang tidak berguna baik untuk diri sendiri ataupun untuk orang tua mereka. Akhirnya ada sebagian anak yang mencaci orang tuanya sendiri. 

Berlaku Adil.
Orang tua yang baik adalah orang tua yang menyantuni, mengayomi dan mendidik serta memperlakukan anaknya dengan adil, baik dalam memberikan perhatian maupun pemberian. Adil diperlukan untuk menghindari kecemburuan dan menjaga keharmonisan. Adil, tidak berarti sama rata. Adil bisa berarti kesetaraan atau keseimbangan, masing-masing hak anak dipenuhi sesuai kebutuhan.   Rasulullah s.a.w bersabda:

اِعْدِلُوْابَيْنَ اَبْنَاءِكُمْ , اِعْدِلُوْابَيْنَ اَبْنَاءِكُمْ  (رواه احمد وابن حبان)

“Berlaku adillah kalian kepada anak-anak kalian, berlaku adillah kalian kepada anak-anak kalian”. (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, Shahihul Jami’ 1046)

اِتَّقُوْا اللّهَ وَاعْدِلُوا فِيْ ْاَولاَدِكُمْ

“Bertaqwalah kalian kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anak kalian”
(HR. Muslim)

Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa : Suatu hari ada orang yang menghibahkan (mewariskan) harta kepada anak-anaknya dengan tidak sama , kemudian Rasulullah saw diminta untuk menjadi saksinya, maka Rasulullah saw bersabda :

لاَتُشْهِدْنِيْ عَلَى جُوْرٍ اِنَّ لاِبْنِكَ عَلَيْكَ مِنَ الْحَقِّ اَنْ تَعْدِلَ بَيْنَهُمْ

“Janganlah engkau menjadikan aku saksi dalam perbuatan aniaya. Sesungguhnya kewajibanmu terhadap anakmu ialah berlaku adil”. (HR. Muslim, 4189-4190)

            Hadits ini jelas menunjukkan bahwa Rasulullah saw menolak untuk dijadikan sebagai saksi dalam perbuatan yang dholim (tidak adil) dan beliau melarang seseorang menjadi saksi atas perkara yang dholim. Dalam kisah lain diceritakan pula oleh Anas ra:
“Bahwasanya ada seorang lelaki sedang duduk bersama Nabi saw. Kemudian anak laki-lakinya datang, ia menciumnya kemudian mendudukkan dipangkuannya. Tidak lama kemudian datang pula anak perempuannya, ia hanya menuntunnya saja dan mendudukkan disisinya. Melihat pemandangan seperti itu Rasulullah saw bersabda, ”Famaa ’adalta baynahumaa, “Engkau tidak adil terhadap keduanya”. (HR. Baihaqi, Syua’bul Iman, As Shahihah Syeikh Albani 2994)

Mencarikan Lingkungan Islami.
Lingkungan dalam arti tempat belajar, tempat/kawan main, majlis tempat ia kumpul-kumpul/nongkrong, hingga soal jodoh.  Sebab ar-rajulu ’alaa diyni khaliilihi fal yanzhur ahadukum man yukhaalil; seseorang itu bergantung kepada agama temannya, karena itu tengoklah dengan siapa ia berkawan. (Abu Dawud & Tirmidzi dari Abu Hurairah, Shahihul Jami’ 3545).
Sabda Nabi yang mulia ini menyuruh untuk pandai-pandai memilih teman, sebab teman yang jahat sangat berbahaya terhadap keimanan, akhlaq dan agama seseorang. Tidak jarang anak terperosok, gara-gara teman. Orang tua secra dini perlu memahamkan kepada putera/inya tentang konsep aurat dan konsep gaul sesuai tuntunan Islam, bagaimana cara berpakaian dan pola busana muslimah.  

Islam tidak membenarkan, mengambil setiap orang sebagai teman, sebab tabiat maupun perangai orang beraneka macam.  Bakr bin Abdullah Abu Zaid menyampaikan nasehat: ”Hati-hatilah dari teman yang jelek …!, karena sesungguhnya tabiat itu suka meniru. Manusia itu seperti serombongan burung yang mereka diberi naluri untuk meniru dengan yang lainnya. Maka hati-hatilah bergaul dengan orang yang seperti itu, karena kamu bisa celaka, hati- hatilah karena usaha mencegah  lebih mudah dari pada mengobati.”
Luqmanull Hakim berwasiat, ” Anakku, bersahabatlah dengan para ulama dan dekaplah mereka dengan kedua tanganmu! Hati sungguh hidup dengan siraman hikmah, laksana hidupnya tanah kering oleh siraman air hujan.”

Ibnu ‘Atha’illah menambahkan: "Berkawan seorang bodoh yang tidak memperturutkan hawa nafsunya, jauh lebih baik daripada dengan berkawan seorang 'alim yang selalu memperturutkan hawa nafsunya."

 











 




        Rusdianto Abdul Wahid, S.Ag  
       As-Sabakany

Tidak ada komentar:

Posting Komentar